Last two-month adalah saat-saat yang tidak menarik bagi dunia crypto. Betapa tidak, BTC dan ETH tidak kemana-mana harganya (sebelum akhirnya pumped gila-gilaan dalam seminggu terakhir).
Likuiditas memang tampak kering di beberapa bulan terakhir. No fresh money flows into crypto.
Ada beberapa sebab yang (mungkin) bisa menjelaskan:
- Tarik ulur approval spot BTC ETF
- Binance continuous legal attack
Tapi, perlu diperhatikan kalau narratives follow prices. Ya artinya alasan-alasan tadi muncul SETELAH harga bergerak. Tidak lebih.
Walaupun begitu, jika kita mengambil pov yang berbeda, momen-momen ini adalah masa untuk akumulasi, terutama untuk blue chip seperti BTC dan ETH.
Mengakumulasi BTC dan ETH setiap price drop adalah strategi yang no brainer. BTC berharga karena scarcity-nya sementara ETH karena fungsionalitasnya.
Berbicara soal fungsionalitas Ethereum sebagai jaringan blockchain, hal ini sebenarnya masih terkendala dalam hal scalability-nya. Walaupun sudah beberapa kali melakukan upgrade major, masalah skalabilitas ini masih menjadi perhatian serius. Gas fee Ethereum masih terlalu mahal terutama saat terjadi peningkatan aktivitas yang tidak terduga.
Solusi yang tersedia saat ini? Layer 2.
Layer 1 vs layer 2
Kalau ada layer 2 definitely pasti ada yang namanya layer 1 (L1). Disadur dari Coindesk, layer 1 (bisa disebut sebagai “mainnet”) adalah infrastruktur utama dari sebuah blockchain dimana disinilah tempat terjadinya aktivitas-aktivitas utama dari sebuah sistem blockchain seperti validasi dan finalisasi transaksi. Contoh L1 adalah Ethereum, Bitcoin atau Solana.
Blockchain adalah sistem yang terdesentralisasi, meaning that tidak ada central authority yang mengontrol atau melakukan oversight. Untuk melindungi user dari scam dan cyber-attack, sistem blockchain bergantung pada system design rumit yang akan membutuhkan resource besar untuk di-break.
The downside? scalability.
Decentralization dan security tidak memungkinkan blockchain untuk menjadi scalable. Ini artinya sistem blockchain akan melambat dan gas fee akan meningkat saat aktivitas user meningkat. Inilah yang dimaksud oleh blockchain trilemma.
Untuk mengatasinya, solusi saat ini adalah dengan menggunakan layer 2 (L2).
Di Bitcoin, L2 ini adalah lightning network. Di Ethereum ada dua pendekatan populer: rollup dan ZK (zero-knowledge).
Note: di tulisan ini akan membahas solusi layer 2 dengan jenis rollup saja. Untuk zero-knowledge akan kita bahas di tulisan lain supaya tidak terlalu panjang.
Rollup: Optimism vs Arbitrum
Sudah sedari dulu kalau Ethereum itu terkenal mahal gas fee dan lambat, terutama saat transaksi sedang banyak-banyaknya. Untuk meng-improve throughput (kecepatan transaksi) sambil menekan gas fee Ethereum yang terkenal mahal, para developer lalu kepikiran solusi membundle banyak transaksi menjadi satu sebelum mem-postingnya ke Ethereum mainnet. Solusi ini dikenal dengan nama rollup.
Saat tulisan ini dibuat, ada dua protokol L2 yang menggunakan ini: Optimism dan Arbitrum.
Mari kita bahas dari Optimism dulu.
Optimism adalah solusi rollup layer 2 dari Ethereum. Disebut sebagai layer 2 karena Optimism sebenarnya adalah chain terpisah dari Ethereum namun tetap “berjalan di atas” Ethereum network itu sendiri. Hasilnya adalah waktu transaksi yang jauh lebih cepat dan gas fee yang lebih murah, namun tetap memiliki security khas Ethereum.
Bagaimana Optimism mewujudkan hal ini?
Optimism menggunakan apa yang disebut sebagai sequencer. Secara sederhana sequencer adalah semacam CPU yang fungsinya melakukan komputasi secara off-chain, tidak on-chain (tidak dilakukan di Ethereum). Setelah komputasi dilakukan, sequencer akan mem-bundle dan mem-posting balik informasi tadi ke jaringan Ethereum secara periodik (rollup).
Oiya, selain itu, sequencer juga mengasumsikan kalau komputasi atas transaksi yang dilakukan selalu valid. Inilah kenapa mekanisme ini dikenal dengan optimistic rollup (so is the name Optimism hehe).
Proses komputasi di L1 secara natural membutuhkan resource yang besar. Dengan memindahkan prosesnya ke sequencer L2, maka penggunaan resource bisa ditekan sehingga proses menjadi lebih cepat dan murah.
Selain Optimism, ada pula yang namanya Arbitrum. Ini adalah “pesaing” Optimism yang sama-sama menganut optimistic rollup namun dengan sedikit perbedaan dalam prosesnya.
Dimana perbedaannya?
Perbedaannya ada di fraud proof-nya. Optimism menggunakan single round fault proof sedangkan Arbitrum menggunakan multi-round fraud proof.
Apa itu fraud proof?
Seperti yang disebutkan di atas, optimistic rollup mengasumsikan kalau setiap transaksi adalah valid sampai ada yang meng-challenge (innocent until proven guilty kalau bahasa kerennya wkkw). Deadline-nya adalah 7 hari sejak transaksi itu di-posting ke Ethereum mainnet. Jeda waktu itu ini disebut Challenge Window.
Kalau sudah lewat seminggu dan tidak ada challenge, maka transaksi dianggap final. Jika tidak, maka transaksi akan di-reverse dan dicek lagi validitasnya.
Proses pengecekan validitas inilah yang disebut fraud proof.
Di Optimism, fraud proof dilakukan dengan single round alias jika ada dispute atas suatu validitas suatu transaksi, transaksi tersebut akan dieksekusi lagi sampai tidak ada dispute lagi. Sedangkan di Arbitrum, fault proof dilakukan secara multi-round atau bolak balik. Ini artinya jika ada dispute atas suatu transaksi, transaksi tersebut akan “didiskusikan” dulu validitasnya sebelum di eksekusi ulang.
In theory, pendekatan Arbitrum lebih efisien (baca: lebih murah) karena beban di L1 (Ethereum) lebih sedikit. Walaupun begitu, pendekatan Optimism akan lebih cepat finality-nya karena tidak perlu ada “diskusi” yang berkepanjangan.
Namun Optimism memiliki keunggulan lain berkat makin populernya OP stack, yang punya nama resmi yang cukup keren: Bedrock.
Bedrock adalah langkah Optimism mewujudkan konsep yang namanya “Superchain”. Sesuai dengan konsep ini, OP akan menjadi blockhain yang modular seperti lego.
Ini berarti kalau Optimism memperbolehkan developer membuat chain lain “berjalan beriringan” dengan Optimism. Dengan begitu, developer dapat berfokus membuat chain yang lebih optimal untuk dApp yang mereka buat, namun tetap di-secure oleh standar Optimism (dan Ethereum).
Sejak pertama kali diperkenalkan pada Oktober 2022 sampai saat ini, sudah cukup banyak project yang menggunakan OP stack. Bahkan Binance dan Coinbase pun menggunakan OP stack untuk membangun solusi mereka sendiri yang disebut OpBNB dan Base.
Kepopuleran OP stack membuat Arbitrum tertarik meluncurkan solusi mereka sendiri yang disebut Arbitrum Orbit. Walaupun mirip-mirip, terdapat perbedaan yang cukup fundamental dari keduanya.
Dengan OP stack, Optimism mengizinkan developer untuk membuat chain L2 mereka sendiri sesuai kaidah codebase yang di-maintained oleh Optimism, Coinbase, dll. In other words, Optimism seakan menciptakan kompetitor mereka sendiri.
Orbit mengambil pendekatan berbeda.
Dengan Orbit, developer tetap dapat dengan bebas mengembangkan chain mereka sendiri, namun IP (intellectual property) dari chain tersebut akan dipegang oleh Arbitrum DAO. Langkah ini membuat Arbitrum DAO dapat “mengontrol” chain yang dibuat dengan Orbit sehingga tidak akan berkompetisi langsung dengan Arbitrum.
Note: because of this reason, safe to say kalau chain yang dibuat oleh Orbit adalah L3 (Layer 3) instead of L2.
Dari sini, Optimism terlihat lebih egaliter dan menarik dari sisi developer. Namun Arbitrum lebih superior dari sisi token holder karena ada korelasi langsung dengan harga ARB (ada kewajiban bagu L3 untuk membayar ARB ke sequencer).
New rollup on the block: Mantle
So far, ekosistem Ethereum layer 2 masih didominasi oleh Optimism dan Arbitrum. Namun, baru-baru ini, muncul protokol baru dengan konsep serupa namun tak sama: Mantle Network.
Mirip seperti Optimism dan Arbitrum, Mantle adalah scaling solution yang berbasis optimistic rollup. So, there is no big difference here. Namun, Mantle mengadopsi modularity from the groundup, tidak seperti Optimism atau Arbitrum yang arsitekturnya monolithic.
Karena design yang modular, aktivitas-aktivitas di Mantle terjadi di layer-layer berbeda. Fungsi execution akan terjadi di Mantle. Consensus dan settlement akan terjadi di Ethereum. Fungsi data availability akan dibantu oleh Eigen Data Availability (EigenDA) di EigenLayer.
Dengan design seperti ini, transaction cost akan bisa ditekan. Network pun bisa berjalan lebih efisien karena load rollup-nya tidak terjadi di layer yang sama. Oleh karena itu, secara teori, throughput Mantle bisa mencapai 1 TB per second atau bahkan lebih.
Mantle juga didukung oleh BitDAO dan treasury-nya yang konon bernilai $3 miliar pasca merger pada Mei 2023 kemarin. Yup, ini BitDAO yang di-established sama Bybit itu, lho.
Dengan dana sebesar itu, Mantle terbilang lebih dari mampu menarik minat para developer untuk mengembangkan dApps yang membantu user melakukan aktivitas secara on-chain. Karena se-novel apapun teknologi dibaliknya, blockchain hanya akan menjadi dead chain jika tak ada yang menggunakan.
Leave a Reply