Selayaknya aset finansial lain seperti misalnya saham, aset crypto menghasilkan value kepada holdernya via trading atau aktivitas jual beli. Walaupun trading bukanlah cara satu-satunya dalam menghasilkan uang, tidak dapat dipungkiri kalau cara ini adalah yang paling populer. Seseorang bahkan bisa hidup hanya dengan duduk manis di depan layar dan memperhatikan pergerakan harga di layar. Dari sini lah muncul term “trading for living” yang mulai sering dijadikan cita-cita anak muda selain influencer, walaupun menurut saya sendiri hal ini sungguh teramat susah dilakukan.
Aktivitas trading biasanya dilakukan di bursa/pasar. Tergantung instrumen apa yang diperdagangkan, setiap bursa memiliki aturan dan regulatornya sendiri. Misalnya, Indonesia memiliki bursa saham yang dikenal dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) yang aturannya berbeda dengan misalnya New York Stock Exchange (NYSE) di US. Di BEI, dikenal adanya mekanisme Auto Reject yang akan “menghalangi” suatu saham turun terlalu dalam atau naik terlalu tinggi dalam satu hari bursa. Mekanisme tidak akan kamu temukan jika kamu melakukan transaksi di NYSE.
Lalu bagaimana dengan bursa crypto?
Secara garis besar, bursa crypto adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli asset crypto. Namun, berbeda dengan bursa saham, bursa crypto ini sifatnya terfragmentasi alias terpisah-pisah likuiditasnya. Hal ini menyebabkan harga asset crypto di setiap bursa bisa berbeda-beda, walaupun perbedaannya tidak signifikan.
Di Indonesia sendiri sudah ada banyak banget bursa crypto yang bermunculan, seiring tingkat adopsinya yang memang terus naik. Ada Indodax, Tokocrypto, Pintu, Reku, dll. Walaupun sudah makin menjamur, Indonesia masih belum memiliki aturan yang firm. Makanya, perusahaan-perusahaan tersebut masih disebut dengan Calon Pedagang Fisik Aset Kripto. Ada kata “calon” disitu karena masih digodok terus aturannya.
Meregulasi pasar crypto memang bukan pekerjaan mudah. Lihat saja drama antara SEC (OJK-nya Amerika) dengan Coinbase dan Binance US beberapa minggu kemarin. Ini membuktikan kalau negara yang sistem keuangannya maju pun juga kesulitan “mengatur” perdagangan crypto.
Kesulitan ini terbilang masuk akal karena secara natural crypto ini cukup berbeda dengan saham atau bahkan komoditas lain. Jika mengambil contoh ekosistem perdagangan saham, maka diperlukan setidaknya 3 party utama dalam setiap aktivitasnya: BEI (penyedia infrastruktur), sekuritas (broker) dan kustodian (safe-keeper asset).
Sedangkan saat ini yang terjadi, ketiga fungsi tersebut di-manage oleh satu entity. Indodax, Tokocrypto, Pintu dll, adalah bursa, sekuritas dan sekaligus juga kustodiannya. Pun demikian, asset crypto itu fungible, alias dianggap sama dimanapun barang tersebut berada. Artinya, suatu asset kripto bisa dipindah-pindah dengan mudah. Gimana kalau misalnya bursa kita ternyata disusupi asset dari teroris Korea Utara atau dijadikan sarana money laundry? Mendeteksinya akan sulit dan collateral damage-nya akan luas.
Perbandingan yang lebih sesuai mungkin adalah dengan pasar mata uang asing atau forex. Namun, tetap ada perbedaannya yaitu fungsi custody. Forex tidak butuh fungsi custody karena barang fisiknya adalah uang itu sendiri sehingga bisa disimpan di bank yang highly regulated. Sebaliknya, asset crypto butuh fungsi custody untuk memastikan asset tersebut aman dari serangan hacker dan yang lebih penting: apakah asset tersebut benar-benar ada di exchange?
The emergence of proof-of-reserve
Pertanyaan di atas bukan cuma retorika. Karena perusahaan exchange merangkap sebagai bursa, broker dan custody, maka muncul kekhawatiran akan kecukupan asset pengguna. Exchange bisa saja tidak benar-benar memiliki cadangan asset digital yang cukup alias user-user mereka hanya melakukan paper trading. Tidak ada aktivitas settlement atas digital asset yang dimaksud.
Ini pernah benar-benar terjadi pada FTX menjelang akhir 2022 lalu. Pada masanya, FTX adalah perusahaan crypto exchange kedua terbesar di dunia setelah Binance. Volume perdagangan 24hr FTX bahkan pernah mencapai $21 miliar pada level tertingginya. Namun, setelah kabar kalau CZ (CEO Binance) menjual FTT (FTX token), orang-orang di seluruh dunia khawatir akan keberlangsungan bisnis FTX. Mereka lalu berbondong-bondong menarik asset crypto dari FTX, sampai akhirnya diketahui kalau there is a hole in the book, sekitar $8.7 miliar. Artinya, dana user tidak bisa ditarik! FTX sudah menggunakan dana user-nya tanpa izin.
Pasca FTX, muncul banyak desakan dari para trader supaya perusahaan exchange menunjukkan reserve atas asset crypto yang mereka miliki kepada publik. Ini penting agar user bisa memverifikasi apakah sebuah perusahaan exchange itu solvent atau tidak. Oleh sejak itu, muncul term baru yaitu proof-of-reserve.
Note: proof-of-reserve hanya diperuntukkan untuk centralized exchange karena sifatnya yang custodial. Hal ini dikarenakan decentralized exchange bersifat non-custodial dan “mencatat” transaksinya pada blockchain sehingga dapat dengan mudah diverifikasi.
Saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut tentang mekanisme ini karena topiknya terlalu teknikal. Sebagai referensi, kamu bisa menonton video dari Coingecko di bawah ini.
Walaupun idealnya setiap exchange memiliki proof-of-reserve, namun nyatanya masih ada exchange yang tidak memilikinya. Pasalnya, hal ini belum diharuskan oleh regulator dan pengaplikasian memerlukan biaya tinggi dan kecapakan teknis yang kompleks.
Di Indonesia sendiri untungnya sudah cukup banyak exchange besar yang memiliki proof-of-reserve. Beberapa diantaranya adalah Indodax, Tokocrypto, dll.
Isu wash trading
Tahukah kamu bagaimana sebuah exchange menghasilkan keuntungan?
Sumber pendapatan utama dari exchange adalah dari trading fee, mirip seperti sekuritas/broker. Setau saya, rata-rata trading fee di Indonesia adalah 0.1% dari volume transaksi regardless maker atau taker. Kamu bisa cek sendiri trading fee ini di website resmi masing-masing exchange.
Cara menghitungnya kira-kira seperti ini.
Ilustrasi beli | Beli |
Token | USDT |
Nominal IDR | 1,500,000 |
Harga market | 15,000 |
Nominal USDT gross | 100 |
Fee (Nominal USDT*fee) | 0.1 |
Nominal USDT nett | 99.9 |
Ilustrasi jual | Beli |
Token | USDT |
Harga market | 15,015 |
Nominal USDT | 100 |
Nominal IDR gross | 1,501,500 |
Fee (Nominal IDR*fee) | 1,500 |
Nominal IDR nett | 1,500,000 |
Begitulah kira-kira yang terjadi dalam setiap transaksi yang terjadi (dengan asumsi tidak ada pajak yang dibebankan kepada user).
Dari ilustrasi di atas, bisa kamu ketahui kalau pendapatan suatu exchange berbanding lurus dengan nominal/volume transaksi yang terjadi.
Lalu bagaimana cara supaya trading activity di suatu exchange bisa meningkat?
Biasanya adalah dengan mengadakan trading competition atau pun reward. Namun, cara ini tidak sustainable karena “bakar duit.” Cara lain yang lebih baik adalah dengan meng-improve market liquidity (bid-ask spread yang dekat) dan market depth (kemampuan meng-absorb order besar tanpa “mengganggu” harga secara signifikan). Jika kedua hal itu bisa dilakukan, niscaya akan lebih banyak trader yang bertransaksi di exchange tersebut dan pendapatannya akan naik.
Tapi melakukan hal tersebut jelas tidak mudah. Exchange crypto lokal tidak hanya harus saling bersaing, namun juga harus melawan exchange global dan DEX (decentralized exchange) serta bahkan juga aset lain seperti saham. Ini membuat likuiditas di ekosistem crypto menjadi kering. Jika sudah begini, beberapa exchange mengambil langkah yang ekstrem: melakukan wash trading.
Apa itu wash trading?
Untuk penjelasan bagusnya, silahkan tonton video dari CME (bursa derivatif ternama di US) berikut ini.
Secara sederhana wash trading adalah trading antar account yang dimiliki oleh individu atau entitas yang sama, alias keluar kantong kanan dan masuk kantong kiri.
Aktivitas ini bertujuan untuk membentuk volume fiktif, membuat seakan-akan suatu asset aktif diperdagangkan. Dengan begitu, diharapkan trader-trader lain akan melirik market tersebut dan melakukan aktivitas jual beli yang legit.
Tujuan lainnya adalah untuk memanipulasi harga suatu asset. Karena dikendalikan oleh entitas yang sama (dan biasanya dengan sokongan dana yang gede banget), maka entitas tersebut bisa menaikkan (atau menurunkan) harga suatu asset.
Untuk meminimalisir hal ini, exchange biasanya menggunakan bantuan market maker. Di dunia crypto, market maker yang terkenal contohnya adalah Wintermute, GSR dan QCP Capital. Market maker ini aktif melakukan aktivitas jual beli demi membentuk volume sembari mencari keuntungan dari selisih harga bid dan ask.
Selain itu, exchange bisa juga menggunakan market maker internal mereka sendiri, seperti yang baru-baru ini diakui sendiri oleh exchange crypto.com. Walaupun tidak salah (karena kayaknya belum diatur), menggunakan internal market maker ini tidak etis karena ini berarti exchange tersebut akan “melawan” user mereka sendiri. Oleh karen itu, bukan tidak mungkin user-user mereka akan berada di posisi yang tidak bagus dan berujung menelan kerugian karena exchange punya data detail atas setiap user di exchange tersebut.
Exchange juga bisa menggunakan jasa market maker pihak ketiga namun masih memiliki afiliasi dengan diri mereka sendiri. Ini yang terjadi pada FTX di penghujung 2022 lalu. FTX exchange diketahui memiliki anak usaha bernama Alameda Research, yang bertindak sebagai salah satu market maker (jika bukan yang utama) di FTX. Masalahnya, FTX ternyata mencuri dana nasabahnya dan diberikan kepada Alameda Research seakan mendapat suntikan fresh fund. Oleh Alameda, dana tersebut digunakan untuk aktivitas market making di FTX dan berinvestasi di perusahaan web3 lain. Beberapa kabar juga menyebutkan kalau ada juga sebagian dana yang dijadikan donasi politik ke orang-orang di parlemen US. Sam-Bankman Fried (CEO FTX dan Alameda Research) emang sebangke itu. I hope you rot in hell🤬
Note: baru-baru ini Binance pun terkena isu yang sama. CZ kabarnya menggunakan dana usernya dan diberikan kepada Sigma Chain, sebuah entitas yang tugasnya adalah melakukan aktivitas market making di Binance. Mirip-mirip Alameda Research gitu, lah. Apakah Binance will be the next FTX? We never know. I hope it didn’t🙏
Crypto adalah industri yang terbilang masih baru. Ada banyak bad actors yang mengeruk keuntungan dengan cara-cara yang ilegal dan tidak benar. Bear market membuat para bad actor tersebut terekspose kebobrokannya dan mulai berguguran. Kedepannya, semoga industri ini semakin mature dan iklimnya semakin kondusif.
Leave a Reply