Crypto is (not) the future

Jujur, sebenarnya saya agak males bikin bikin postingan semacam ini. Ga enak aja rasanya entar dikira si paling tahu. Padahal, kan sama-sama belajar juga hahah.

Tapi gapapa. Sekali-sekali bolehlah saya mengungkapkan pandangan saya soal ini. Mumpung berkaitan juga sama kerjaan yang sekarang. Jadi, opininya more or less bisa lebih valid.

Ok. Sekarang mau bahas soal cryptocurrency, yang biasa disingkat menjadi crypto sama orang-orang. Crypto ini ada produk turunannya. Salah satu yang terkenal adalah NFT, kepanjagan dari Non-Fungible Token. Crypto dan NFT ini hype banget pas masa-masa pandemi. Mirip-mirip hype-nya AI (artificial intelligence) kalau di tahun 2023.

Everybody talks about crypto, NFT, to the moon, etc, di tahun 2020-2021. Pada saat itu, saya rasa paling tidak ada satu dari sekian banyak temanmu yang flexing dia punya persentase cuan. Ini lah yang membuat hype-nya menyebar makin luas.

Saya pun juga begitu. Walaupun saya terjun ke dunia itu cukup telat (sekitar Q1 2022), saya masih merasakan keuntungannya tipis-tipis. Sejak itu saya mulai mengulik lebih dalam. Nonton YouTube. Baca-baca berita. Masuk ke forum-forum Telegram. Follow so-called “expert” di Twitter. Kegiatan-kegiatan tadi membuat saya tertarik untuk jump ship dari asset management ke industri crypto.

Dan setelah kurang lebih 2 tahun saya “berkarya” di industri ini. Here is my takeaway: crypto is not the holy grail. It is …… just one of the grail.

Yup. Nothing special in it. What crypto does is basically democratizing financial system, mimicking traditional asset, so individuals have access to something only big funds had in the past.

No more Undang-Undang Pasar Modal, yang ada adalah smart contract. No more OJK or SEC, yang ada adalah DAO (decentralized Autonomous Organization).

Di postingan ini, saya tidak akan bicara terlalu banyak soal apa itu crypto, bagaimana cara kerjanya dll. Biarkan itu menjadi ide postingan berikutnya. Itung-itung bisa nambah jumlah post di sini. Saat ini, mari kita fokus pada potensinya sebagai instrumen investasi.

Investasi? Isn’t it only good for trading purpose only?

Ini yang akan kita bahas.

Crypto hanyalah instrumen keuangan

Basically, crypto today can be seen as financial instrument, just like stocks and bonds. And since it is just an instrument, you can trade it for profit!

Lalu bagaimana strateginya? Buy low sell high. Sesimple itu.

The hardest part adalah membentuk conviction-nya, dan ini berlaku untuk semua instrument. You can copy the pick but you can’t copy the one’s conviction. Conviction sendiri dalam bahasa Indonesia artinya kepercayaan. Misalnya, influencer A bilang BTC akan naik ke $30K (atau BBCA ke Rp10K or whatever). Karena si Influencer A ini punya conviction yang tinggi sama BTC (atau BBCA atau whatever), dia bisa menaruh modal 10 juta Rupiah. Kamu pun merasa juga memiliki conviction yang sama dan juga menaruh 10 juta.

Selang 5 hari, BTC (atau BBCA atau whatever) tidak kunjung mencapai target yang dimaksud. Justru harganya anjlok. Kamu pun uring-uringan dan malah menjual rugi posisimu. Sebaliknya, si influencer tadi bisa jadi malah double down dia punya modal karena dia emang seyakin itu. And once the market bounce, kamu rugi dan si influencer untung besar.

Moral of the story: pakai any pick dari influencer sebagai bahan pertimbangan saja, lalu riset sendiri.

Tidak semua yang dibilang influencer itu bener. Any pick yang mereka bilang itu probability berhasilnya tetap 50:50. Analisis-analisis tambahan, seperti fundamental analysis, technical analysis, bandarmology dll, itu tujuannya untuk membentuk conviction tadi, bukan untuk memperbesar winning probability.

Dan karena crypto tadi bisa dikategorikan sebagai instrumen keuangan, maka akan ada pasar derivatif atau turunannya, dalam artian kamu membeli kontrak jual-belinya aja tanpa pernah memiliki asset nya langsung. Aset turunan ini naturally akan lebih beresiko, combine it sama crypto yang juga tergolong high risk, maka aset ini high risk kuadrat.

Derivatif yang dimaksud disini adalah option dan future. Di market US sana, instrumen derivatif seperti ini sudah jamak. Investor ritel disana saja juga sudah punya akses atas instrumen ini. Tapi di Indonesia sendiri, instrumen ini dulu pernah ada, tapi lalu ditutup perdangangannya (walau untuk option dihidupkan lagi dengan nama warran terstruktur sejak 2022 kalau ga salah).

Potensi cuan dari option dan future ini jelas lebih besar dibanding hanya membeli assetnya langsung karena ada faktor leverage (ini akan saya bahas di kesempatan lain, kalau mood hahaha). Namun, risk-nya juga jauh lebih besar. For majority of people, the less you know about it, the better it will be.

Borrowing and lending

Kalau kamu dengan ada influencer yang bilang “biarkan uang bekerja”, kebanyakan yang mereka maksud adalah investasi di asset-asset finansial seperti reksadana atau saham. Namun, tahukah kamu satu metode “rahasia” untuk membiarkan uang kita bekerja saat kita tidur (udah macem influencer ya saya hehe)?

Pinjol.

Whatever you think it is, memberi pinjaman adalah salah satu metode paling terpercaya untuk menghasilkan return besar. Ga percaya? Liat aja itu financial report-nya bank-bank. Majority of their assets (bahkan rata-rata di atas 90%) adalah pinjaman.

Ada alasan kenapa banking industry adalah the biggest sector di pasar modal kita. Kebanyakan masyarakat kita adalah kelas menengah, that means mereka butuh channel-channel pembiayaan, either untuk konsumtif or produktif. So, as long as monthly payment-nya masuk akal, setinggi apapun your total cut, mereka akan ambil.

Selain itu, udah jadi standar industry kalau discrepancy antara interest earned dan interest owed (dari POV bank) itu lumayan lebar. Beberapa bank bahkan selisihnya bisa 10%++. Sayangnya, applying for loan itu ga mudah. Banyak dokumen dan background check yang mesti dilalui. Kalau kamu punya modal, ini adalah ide usaha yang bisa kamu duplikasi metodenya

Ambil pinjaman tenor setahun, bunga 6% p.a (KUR BCA sebagai contoh aja nih). Terus kamu kasi pinjaman ke entah siapa pun itu, bunga 20% p.a, selisihnya udah 14%. Di target market tertentu kamu bahkan bisa kenakan bunga sampai 50%, as long as monthly payment-nya tidak memberatkan. Di situasi normal, ini udah mengalahkan return IHSG dengan less risk.

Tapi masalahnya tetap adalah dokumentasi. Apapun itu, bank biasanya required some documents, bahkan untuk UMKM. Alhasil, akses terhadap permodalan menjadi terbatas.

Crypto di sisi lain bisa digunakan dengan cara yang mirip seperti di atas. Di crypto, ada yang namanya decentralized finance atau defi. Ini pada dasarnya sebuah jaringan “antar lembaga keuangan” yang mirip mirip jaringan lembaga keuangan tradisional. Bedanya, danamu kamu yang simpan. Kalau danamu hilang, dengan cara apapun itu, tidak ada yang bisa kamu minta pertanggungjawabannya. Jadi kalau ada “orang baik” yang mau bantu kamu recover danamu yang hilang karena misalnya karena hacking, you need to get very suspicious.

Mirip seperti jaringan lembaga keuangan tradisional, antar lembaga (di defi biasa disebut dApp atau decentralize app) ini saling pinjam meminjam. Ini mirip cara bank bekerja sebenarnya. Bank itu saling mendepositkan dana nasabahnya ke bank lain sampai level tertentu. Tujuannya ya tentu untuk mendapatkan yield atau keuntungan.

Kita ambil contoh bank BCA. Tahapan BCA itu bunganya (ke deposan) paling gede 0.05% p.a. Itu untuk balance 1M++. Kalau tidak diapa-apakan, itu jadi cost. Oleh BCA, 1M++ tadi bisa didepositkan ke bank lain, misal ke Bank Permata Tabungan Optima, dengan bunga 2% p.a. Selisih 1.95% tadi menjadi revenue dari BCA. Ini baru dari jalur antar produk tabungan. Belum kalau dana tadi dipinjamankan ke UMKM atau diinvestasikan ke saham atau reksadana.

dApp bekerja dengan cara yang serupa. Setiap dApp tadi menawarkan yield yang berbeda-beda.Kalau jeli, kamu bisa mendapatkan keuntungan dengan cara yang sama persis dengan contoh Bank BCA tadi. Kadang yield-nya bisa tembus ratusan persen APR (APR ini essentially adalah p.a, dengan asumsi tanpa direinvest lagi).

Tapi kamu harus hati-hati. APR yang tinggi di dApp bisa saja terjadi karena emisi token mereka yang berlebihan. Ini juga perbedaan antara decentralize finance dengan sistem keuangan tradisional. Di sistem tradisional, keuntungan akan lebih mudah dibandingkan karena denominasinya pasti IDR (kecuali jika produknya dinyatakan dalam currency lain). Di dApp, tidak jarang keuntungannya dibagikan dalam bentuk crypto yang mereka buat sendiri.

Misalnya dApp A yang memiliki crypto AA, mampu memberikan yield 120% APR. Terlihat tinggi dan menguntungkan banget, kan? Tapi kamu perlu cari tahu lagi apakah yield ini dibagikan dalam bentuk crypto AA juga atau tidak. Jika iya, kamu harus riset lebih jauh karena ya mereka bisa printing money (in term of crypto AA) seenak mereka. Jika berlebihan, akan menyebabkan inflasi dan harga crypto AA bisa jatuh. Mirip mirip dollar Zimbabwe gitu deh.

Kayaknya cukup di sini dulu tulisan saya. Kayaknya udah kepanjangan. Dua hal tadi adalah dua metode utama yang “diadopsi” oleh crypto dari sistem keuangan tradisional. They are pretty much similar secara prinsip.

Di lain waktu, saya akan coba lanjutkan tulisan ini. So, jangan telan mentah-mentah kalau ada meyakinkan kamu kalau crypto adalah satu-satunya cara jadi kaya jaman sekarang. Crypto cuma medium aja. Kalau tujuannya kaya mah ada banyak jalan lain. Jual pecel tenda juga bisa jadi kaya, kan.

Categories:

Date:

Before:

Leave a Reply

Discover more from The Boring Life

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading